FIQIH IBADAH
Kompetensi Mahasiswa
Setelah pembahasan ini mahasiswa mampu:
- Menjelaskan cara shalat yang benar dengan melakukan yang wajib dan sunnah dalam shalat
- Menguraikan pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai kewajiban puasa
Ibadah adalah pengabdian diri seorang hamba kepada Tuhannya. Beibadah merupakan kewajiban seorang hamba dan sekaligus hak Tuhan. Karena itu, secara umum, seluruh aspek kehidupan seorang muslim adalah ibadah dan segala aktifitas tersebut harus diusahakan senantiasa bernilai ibadah.
Yang dimaksud dengan ibadah dalam bab ini adalah ibadah dalam arti khusus, yaituibadah mahdlah, sebuah bentuk peyembahan tertentu kepada Allah yang telah ditetapkan aturannya oleh Allah. Dalam hal ini ada tiga praktek ibadah yang ada dalam lingkup ibadah mahdlah; shalat, puasa dan haji.
Dalam buku ini, haji tidak disinggung secara detail karena lebih strategis apabila persoalan haji disampaikan pada waktu seseorang hendak menunaikan haji, namun demikian, persoalan umum mengenai haji dan masalah kontemporer yang sering mengundang kontroversi akan sedikit dibahas dalam diskusi.
A. SHALAT
- 1. Hal-hal yang Wajib Dilakukan dalam Shalat
a. Niat
Niat termasuk hal yang harus ada dalam ibadah shalat berdasarkan firman Allah SWT:
“Dan mereka tidak diperintahkan melainkan untuk mengabdikan diri (beribadah) kepada Allah dengan (niat) ikhlas kepada-Nya semata”. (QS. Al-Baqarah: 5)
Dan berdasarkan sabda Rasulullah SAW.:
“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niat, dan setiap manusia akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan apa yang diniatkannya. Karena itu, barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul, maka hijrahnya diterima karena Allah dan Rasul. Dan barang siapa yang berhijrah karena ingin mendapatkan (kenikmatan) dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya akan mendapatkan sesuai dengan yang diniatkannya”. (HR. al-Bukhari)
Hukum melafadzkan niat, dalam bukunya Ighatsatu al-Lafwan, Ibnu al-Qayyim menyatakan: Niat berarti menyengaja dan bermaksud dengan sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan untuk kepentingan itu tempatnya ada di dalam hati, tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan lisan. Karena itulah tidak pernah ada riwayat dari Nabi dan para sahabat mengenai melafadzkan niat.
b. Takbirat al-Ihram.
Takbirat al-Ihram adalah rukun dan fardlu shalat. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan ‘Ali, bahwa Nabi bersabda:
“Kunci shalat adalah bersuci, pembukaannya adalah takbir dan penutupnya adalah salam”. (HR. Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Turmudzi dan dia mengatakan: Hadits ini merupakan hadits yang paling sah dan paling baik mengenai masalah ini”. Kesahihan hadits ini juga dinyatakan al-Hakim dan Ibnu as-Sikkin).
c. Berdiri pada Shalat Fardlu
Hukum berdiri pada shalat fardlu bagi orang yang mampu adalah wajib , berdasarkan al-Qur’an, Hadits dan ijma’.
Firman Allah SWT:
“Peliharalah shalat-sahalat (yang wajib) terutama shalat al-Wustha dan berdirilah di hadapan Allah dengan khusyu’ dan merendahkan diri”. (QS. Al-Baqarah: 238).
Dan dari ‘Imran bin Hushain, katanya:
“Saya terserang penyakit bawasir. Lalu saya bertanya kepada Rasul tentang cara shalat. Maka beliau menjawab: Shalatlah dengan berdiri. Kalau tidak mampu shalatlah dengan duduk. Dan jika tidak mampu juga, shalatlah dengan berbaring”. (HR. al-Bukhari)
d. Membaca Surat al-Fatihah
Ada beberapa hadits yang sahih dan kuat yang menyatakan wajibnya membaca surat al-fatihah pada setiap rekaat, baik pada shalat fardlu maupun shalat sunnah. Karena hadits tersebut sahih dan kuat, maka tidak ada alasan lagi bagi seorang muslim untuk mengingkarinya dan berselisih paham tentangnya.
Dari Ubaidah bin Shamit, dia menyatakan bahwa Nabi SAW. bersabda:
“Tidak (sah) shalat seseorang yang tidak membaca Fatihah al-Kitab (al-fatihah)”. (HR. al-Jama’ah).
Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi SAW. telah bersabda:
“Barang siapa yang mengerjakan suatu shalat dan dia tidak membaca Ummual-Qur’an—dan dalam riwayat lain dikatakan Fatihah al-Kitab—(al-Fatihah), maka shalatnya kurang, yaitu tidak sempurna”. (HR. Ahmad, al-Bukhari dan Muslim)
e. Rukuk
Kewajiban rukuk dalam shalat telah diakui ulama secara ijma’. Berdasarkan firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, rukuk dan sujudlah kamu …”. (QS. Al-Hajj: 77)
Pelaksanaan Rukuk
Seorang dianggap telah melaksanakan rukuk apabila dia telah membungkukkan tubuhnya dan kedua tangannya memegang lututnya. Dalam melaksanakannya, dia harus thuma’ninah, artinya berhenti dengan tenang, sebagimana diterangkan dalam hadits al-Musi’ fi Shalatihi, yang di dakamnya menyatakan: Kemudian hendaklah dia rukuk dengan thuma’ninah.
f. Bangkit dari Rukuk dan Berdiri Lurus (I’tidal) dengan Thumakninah
Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Humaid yang menyatakan sifat shalat Nabi, katanya:
“Apabila beliau mengangkat kepalanya, maka beliau berdiri lurus hingga setiap ruas punggung itu kembali ke tempat asalnya semula”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Tentang shalat Nabi ini, ‘Aisyah juga bercerita:
“Apabila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, maka dia tidak langsung sujud sebelum berdiri lurus terlebih dahulu”. (HR. Muslim)
g. Sujud
Kewajiban sujud ini berdasarkan kepada ayat al-Qur’an sebagaimana yang telah disinggung di muka, dan juga telah diberi penjelasan oleh Nabi SAW. dalam hadits al-Musi’ fi Shalatihi, dinyatakan:
“Kemudian sujudlah dengan thumakninah, lalu bangkit dan duduklah denganthumakninah, lalu sujudlah lagi dengan thumakninah”.
h. Duduk Terakhir Sambil Membaca Bacaan at-Tasyahud
Ada penjelasan yang telah diakui dan dikenal dari tuntunan Nabi SAW., yaitu bahwa Nabi melakukan duduk akhir sambil membaca at-Tasyahud. Beliau pernah berpesan kepada orang yang jelek shalatnya, sabdanya:
“Apabila engkau telah bangkit dari sujud terakhir, lalu engkau duduk sambil membacaat-Tasyahhud, maka engkau telah selesai shalat”. Ibnu Qadamah berkata: Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata: Sebelum at-Tasyahhud diwajibkan, biasanya kami membaca: as-Salamu ‘Alallahi Qabla ‘Ibadihi, as-Salamu ‘Ala Jibrila, as-Salamu ‘Ala Mikaila (Semoga keselamatan tercurah kepada Allah sebelum hamba-hamba-Nya, semoga keselamatan diberikan kepada Jibral dan semoga keselamatan juga diberikan kepada Mikail). Kemudian Nabi bersabda: Jangan katakan as-Salamu ‘Alallahi (semoga keselamatan tercurah kepada Allah), tapi ucapkanlah: at-Tahiyyatu Lillah (segala persembahan adalah bagi Allah)”.
i. Memberi Salam
Telah tegas disebutkan bahwa salam wajib dilakukan di dalam shalat. Hal ini berdasarkan sabda Rasul dan perbuatannya. Di antaranya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Thalib, bahwa Nabi bersabda:
“Kunci shalat adalah bersuci, pembukaannya adalah takbir dan penutupnya adalah salam”. (HR. Ahmad, asy-Syafi’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Turmudzi, dan dia menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang paling sahih dan paling baik mengenai masalah ini)
Ada juga hadits dari ‘Amir bin Sa’ad, dari bapaknya, dia menyatakan:
“Saya melihat Nabi SAW. memberi salam ke sebelah kanan dan ke sevelah kirinya, hingga kelihatan putih pipinya”. (HR. Ahmad, Muslim, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)
- 2. Hal-hal yang Sunnah Dilakukan dalam Shalat
a. Mengangkat Kedua Tangan
Mengangkat kedua tangan disunnahkan pada empat keadaan:
Pertama, Ketika melakukan Takbiratu al-Ihram.
Ibnu al-Mundzir berkata: Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama, bahwa Nabi selalu mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat. Ditambahkan juga oleh al-Hafidh Ibnu Hajar, bahwa hadits mengenai mengangkat dua tangan pada permulaan shalat ini diriwayatkan oleh lebih dari 50 sahabat, termasuk di antaranya sepuluh orang yang telah dijamin masuk surga.
Kedua dan Ketiga, Ketika Hendak Rukuk dan Bangkit Darinya
Mengangkat tangan ketika turun untuk rukuk dan ketika bangkit darinya juga disunnahkan. Ada dua puluh dua sahabat meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. melakukan demikian. Hadits tersebut diterima dari ‘Umar, katanya:
“Apabila Nabi SAW. berdiri hendak melakukan shalat, maka beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya sambil membaca takbir. Kemudian apabila beliau hendak rukuk, beliau mengangkat tangannya juga seperti sebelumnya, dan apabila beliau mengangkat kepala hendak bangkit dari rukuk, beliau juga melakukan demikian sambil mengucapkan: Sami’allahu Liman Hamidahu, Rabbana wa Laka al-Hamdu (Allah maha Mendengar pujian orang yang memuji-Nya, Wahai Tuhan Kami, dan hanya untukMu semata segala pujian)”. (HR. al-Bukhari, Muslim dan al-Baihaqi)
Keempat, Ketika Bangkit Hendak Berdiri Pada Rekaat Ketiga
Seorang yang bangkit dari duduk dan hendak melakukan rekaat ketiga juga disunnahkan mengangkat kedua tangannya. Ini berdasarkan riwayat dari nafi’ yang menceritakan cara shalat Ibnu ‘Umar, katanya:
“Bahwasanya Ibnu ‘Umar, ketika bangkit dari rekaat kedua, dia mengangkat kedua tangannya. Dan Ibnu ‘Umar menyatakan bahwa cara ini bersumber dari Nabi SAW.”. (HR. al-Bukhari, Abu Dawud dan an-Nasa’i)
Cara Mengangkat Tangan
Terdapat banyak riwayat mengenai cara mengangkat dua tangan tersebut. Cara yang paling utama dan dipakai oleh jumhur ulama adalah cara mengangkat sejajar dengan dua bahu, sehingga ujung-ujung jari sejajar dengan puncak kedua telinga, kedua ibu jari sejajar dengan ujung bawah telinga dan kedua telapak tangan sejajar dengan kedua bahu.
An-Nawawi berkata: as-Syafi’i memilih cara ini sebagai hasil dari penyatuan beberapa hadits, dan akhirnya banyak diikuti oleh umat Islam. Ketika itu, juga disunnahkan mengembangkan jemari, berdasarkan riwayat Abu Hurairah:
“Bahwasanya Nabi SAW. apabila hendak melakukan shalat, beliau mengangkat tangannya sambil mengembang (jemarinya)”. (HR. al-Khamsah kecuali Ibnu Majah)
Waktu Mengangkat Tangan
Mengangkat tangan itu disunnahkan dilakukan bersamaan dengan waktu mengucapkanTakbiratu al-Ihram atau mendahuluinya, berdasarkan hadits dari Nafi’, katanya:
“Bahwasanya Ibnu ‘Umar, apabila memulai shalat, dia membaca takbir seraya mengangkat kedua tangannya. Perbuatan tersebut dinyatakan berasal dari Nabi SAW.”. (HR. al-Bukhari, an-Nasa’i dan Abu Dawud)
Mengenai dibolehkannya mengangkat tangan lebih dulu dari pada Takbiratu al-Ihram, bersumber dari riwayat Ibnu ‘Umar, dia menyatakan:
“Apabila Nabi SAW. berdiri hendak melakukan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua bahunya, lalu membaca takbir”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Persamaan Cara Bertakbir Bagi laki-laki dan Perempuan
Asy-Syaukani mengatakan bahwa cara bertakbir sebagaimana dijelaskan di muka berlaku sama bagi laki-laki dan perempuan, dan tidak ada satupun keterangan yang membedakan cara mengangkat tangan berdasarkan jenis kelamin. Begitu juga tidak ada penjelasan yang membedakan ukuran mengangkat tangan bagi laki-laki dan perempuan.
b. Menaruh Tangan Kanan di atas Tangan Kiri
Seseorang yang sedang shalat disunnahkan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Mengenai hal ini telah diterima dua puluh hadits dari Nabi SAW., delapan belas riwayat dari sahabat dan dua riwayat dari tabi’in. Di antaranya adalah riwayat dari Sahl bin Sa’ad, katanya:
“Orang-orang disuruh agar seseorang yang sedang shalat itu meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya”. (HR. al-Bukhari, Ahmad dan Malik dalam kitabnya al-Muwaththa’)
Tempat Meletakkan Kedua Tangan
Kamal bin Hammam berkata: Tidak ada satupun hadits sahih yang memerintahkan meletakkan tangan di bawah dada atau di atas pusar. Hanya perbuatan yang biasa di kalangan madzhab Hanafi adalah meletakkan tangan di bawah pusar, dan diletakkan dibawah dada bagi madzhab Syafi’i. Sedangkan madzhab Ahmad mengakui dua pendapat dimuka sebagaimana yang diutarakan dua madzhsab sebelumnya. Yang benar adalah boleh keduanya.
Menurut at-Turmudzi, para ahli dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat tentang cara menaruh kedua tangan. Sebagian mereka berpendapat agar meletakkannya di atas pusar sedang yang lain berpendapat di sebelah bawahnya. Keduanya ada yang melakukannya, Wallahu ‘A’lam.
c. Membaca Doa Iftitah
Seorang yang sedang shalat disunnahkan membaca salah satu doa iftitah yang pernah dibaca oleh Nabi SAW. Doa ini dibaca untuk pembukaan shalat yang dibaca setelah melakukan Takbiratu al-Ihram dan sebelum membaca al-Fatihah.
d. Membaca Ta’awudz
Seseorang yang sedang shalat, disunnahkan kepadanya membaca ta’awudz—A’udzu Billahi Min As-Syaithoni ar-Rajim—sebelum membaca al-Fatihah. Berdasarkan firman Allah SWT.:
“Apabila kamu membaca al-Qur’an, maka berlindunglah (berta’awudzlah) kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk”. (QS. An-Naml: 98)
Cara Membaca Ta’awudz
Membaca ta’awudz disunnahkan secara lunak (sirri). Dalam hal ini, penulis al-Mughni mengatakan bahwa Isti’adah seharusnya dibaca secara sirri bukan jahri. Dan persoalan ini, dalam sepengetahuanku, tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama.
Sebaliknya, Al-Syafi’i berpendapat boleh memilih antara membaca ta’awudz secarasirri atau jahri pada shalat-shalat yang jahri. Memang ada riwayat dari Abu Hurairah yang membolehkan membacanya secara jahri, tetapi dari sumber yang lemah.
Waktu Membaca Ta’awudz
Isti’adzah itu tidak disyariatkan kecuali pada rekaat pertama dalam shalat. Ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, katanya:
“Apabila Nabi SAW. bangkit dari rekaat pertama, ia memulai bacaannya dengan Al-Hamdu Lillahi Rabbi al-‘Alamin, dan tidak berdiam diri”. (HR. Muslim)
Ibnu al-Qayyim berkata: Para ulama memang berbeda pendapat, apakah waktu ini (rekaat kedua sebelum al-fatihah) merupakan tempat isti’adah atau tidak. Ini dipertanyakan karena ulama sepakat bahwa di situ bukan tempat membaca iftitah.
e. Melafadzkan Amiin
Setelah membaca al-Fatihah, seseorang disunnahkan membaca amiin, secara jahripada shalat yang jahri dan secara sirri bagi shalat yang sirri, baik dia sebagai imam, makmum atau shalat seorang diri, Hal ini berdasarkan hadits dari Na;im al-Mujmir, katanya:
“saya shalat di belakang Abu Hurairah, lalu dia membaca: Bismillahi ar-Rahmani ar-Rahimi, kemudian membaca al-Fatihah hingga selesai wa La adl-Dlallin, maka dia mengatakan amiin, dan para jamaah pun membaca amiin pula. Setelah memberi salam, Abu Hurairah berkata: Demi Tuhan yang nyawaku dalam genggaman-Nya, shalatku adalah yang paling mirip dengan shalat Rasulullah SAW.”. (HR. al-Bukhari secaramu’allaq dan diriwayatkan oleh an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Ibnu Sitaj)
Cara Membaca Amiin
Makmum disunnahkan mengucapkan amiin bersama-sama dengan imam, tidak mendahului sama sekali dan tidak mengakhirinya. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
“Apabila imam membaca Ghairi al-Maghdlubi ‘Alaihim wa La adl-Dlallin, maka ucpkanlah amiin. Karena barang siapa yang ucapannya bersamaan dengan amiin yang diucapkan para malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni”. (HR. al-Bukhari)
Arti Amiin
Lafadz Amiin, baik dengan memendekkan alif, atau memanjangkannya sekaligus meringankan huruf mim, itu tidak termasuk al-Fatihah. Bacaan ini hanya meruapakan doa yang berarti “Ya Allah perkenankanlah”.
f. Membaca Ayat al-Qur’an Setelah al-Fatihah
Setelah membaca al-Fatihah, seseorang yang sedang shalat disunnahkan membaca ayat-ayat al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut dibaca pada kedua rekaat shalat Subuh dan shalat Jum’at, juga dua rekaat pertama dari shalat Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan shalat Isya’ serta semua rekaat shalat sunnah. Ini berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh al-Qatadah, katanya:
“Bahwasanya Nabi SAW., pada dua rekaat pertama shalat Dhuhur, beliau membaca al-Fatihah dan dua buah surat. Sedangklan pada dua rekaat terakhir, beliau membaca al-Fatihah dan kadang-kadang membaca ayat. Beliau biasa membaca ayat pada rekaat pertama lebih panjang dari pada rekaat kedua. Demikian jug ketika shalat ‘Ashar dan shalat Subuh”. (HR. al-Bukhari , Muslim dan Abu Dawud. Yang terakhir ini menambahkan: “hingga dengan itu, menurut dugaan kami beliau ingin agar orang-orang bisa mendapatkan reka’at pertama”)
g. Membaca Takbir Ketika Pindah Kegiatan dalam Shalat
Pada setiap pindah kegiatan dalam shalat disunnahkan membaca takbir, baik setiap kali bangkit atau turun dan berdiri atau duduk, kecuali ketika bangkit dari rukuk, waktu itu membaca “Sami’allahu Liman Hamidahu” (Allah Maha mendengar terhadap pujian orang yang memuji-Nya). Berdasarkan riwayat dari Ibnu Mas’ud, katanya:
“Saya melihat Rasulullah SAW. mengucapkan takbir setiap kali turun dan bangkit, berdiri dan duduk”. (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan at-Turmudzi, dia menyatakan hdits ini sahih)
At-Turmudzi menambahkan bahwa takbir tersebut merupakan amalan para sahabat Nabi SAW. di antaranya adalah Abu Bakar, ‘Umar, Utsman dan ‘Ali serta lain-lainnya. Begitu juga para tabi’in dan para ulama.
h. Menyempurnakan Tata Cara Rukuk
Cara rukuk yang benar adalah membungkukkan badan sehingga tangan dapat memegang lutut. Ketika itu disunnahkan agar kepala dan pinggul rata, kedua tangan bertumpu pada kedua lutut dengan merenggangkannya dari pinggang. Lalu jari-jari dikembangkan di atas lutut dan punggung didatarkan.
Diterima dari ‘Uqbah bin ‘Amir:
“Bahwasanya Nabi SAW. rukuk. Lalu beliau merenggangkan kedua tangannya dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Beliau juga mengembangkan jari jemarinya hingga ke belakang lututnya”. Kemuidan ‘Uqbah berkata: “Begitulah saya melihat Rasulullah SAW. mengerjakan shalat”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa’i)
i. Membaca Bacaan Ketika Rukuk
Pada waktu rukuk, seorang disunnahkan membaca “Subhana Rabbiya al-‘Adhimi” (Mahasuci Tuhanku yang Mahabesar). Berdasarkan hadits dari ‘Uqbah bin ‘Amir, katanya:
“Ketika turun ayat “Fasabbih Bismi Rabbika al-‘Adhimi” (Maka bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Mahabesar), Nabi SAW. mengatakan: Jadikanlah itu sebagai do’a rukukmu”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan lainnya dengan sanad cukup baik)
j. Membaca Bacaan Bangkit dari Rukuk dan Ketika I’tidal
Ketika bangkit dari rukuk, seorang yang sedang shalat disunnahkan membacaSami’allahu Liman Hamidahu (Allah Mahamendengar terhadap orang yang memuji-Nya), baik dia sebagai imam maupun makmum. Lalu apabila dia telah berdiri lurus (I’tidal), maka dia disunnahkan membaca Rabbana wa Laka al-Hamdu (Wahai Tuhan kami, bagi-Mulah segala pujian) atau Allahuma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mulah segala pujian). Berdasarkan hadits Abu Hurairah, katanya:
“Bahwasanya Nabi SAW. mengucapkan Sami’allahu Liman Hamidahu (Allah Mahamendengar terhadap orang yang memuji-Nya) ketika mengangkat punggungnya dari rukuk. Kemudian ketika berdiri, beliau membaca Rabbana wa Laka al-Hamdu(Wahai Tuhan kami, bagi-Mulah segala pujian)”. (HR. Muslim, Ahmad dan al-Bukhari)
Sedangkan al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, berbunyi:
“Dan apibila imam membaca Sami’allahu Liman Hamidahu (Allah Mahamendengar terhadap orang yang memuji-Nya), maka katakanlah: Allahuma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mulah segala pujian)”.
- k. Melaksanakan Tata Cara Turun ke Bawah ketika Hendak Bersujud
dan Ketika Bangkit
Jumhur ulama berpendapat bahwa meletakkan kedua lutut ke lantai sebelum kedua tangan adalah sunnat. Hal ini diceritakan oleh Ibnu al-Mundzir dari ‘Umar, an-Nakhai, Muslim bin Yasar, Sufayan ats-Tsauri, Ahmad, Ishak dan para kaum rasionalis. Begitu juga pendapatku, katanya. Pendapat tersebut juga diceritakan oleh Abu ath-Thayyib dari mayoritas ahli hukum (fuqaha).
Dalam hal ini Ibnu al-Qayyim berkata: “Nabi SAW. meneruh kedua lututnya ke lantai terlebih dahulu, kemudian kedua tangannya, keningnya dan selanjutnya hidung”. Ini merupakan keterangan yang sah yang diriwayatkan oleh Syarik dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya (Wail bin Hijr), katanya:
“Saya melihat Rasulullah SAW. ketika sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Dan tidak ada satupun riwayat yang bertentangan dengan perbuatan Nabi ini”.
l. Menyempurnakan Tata Cara Sujud
Seseorang yang melakukan sujud disunnahkan memperhatikan hal-hal berikut ini:
a) Menempelkan hidung, kening dan kedua tangan ke lantai dengan merenggangkannya dari pinggang. Berdasarkan hadits dari Wail bin Hijr, katanya:
“Bahwasanya Nabi SAW. ketika sujud, beliau meletakkan keningnya di antara kedua telapak tangannya dengan merenggangkannya dari ketiaknya”. (HR. Abu Dawud)
Dan dari Abu Humeid, katanya:
“Bahwasanya Nabi SAW. menempelkan hidung dan keningnya ke lantai ketika sujud, merenggangkan kedua tangannya dari pinggang dan menaruh kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua bahunya”. (HR. Ibnu Khuzaimah dan at-Turmudzi, dan dia menyatakan hadits ini Hasan Sahih)
b) Meletakkan kedua telapak tangan sejajar dengan kedua telinga atau kedua bahu. Kedua petunjuk tersebut sama-sama mempunyai dasar. Tetapi sebagian ulama menyatukan maksud dari petunjuk tersebut dengan menjadikan ujung kedua telunjuk sejajar dengan kedua telinga, sedangkan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua bahu.
c) Merapatkan jemari. Berdasarkan riwayat al-Hakim dari Ibnu Hibban.
d) Menghadapkan ujung jemari ke arah kiblat. Berdasarkan riwayat al-Bukhari dari Abu Humeid, katanya:
“Bahwasanya Nabi SAW. ketika melakukan sujud, beliau meletakkan kedua tangannya tanpa merenggangkan jemarinya dan tidak menggenggamnya dan menghadapkan ujung jari kedua kakinya ke kiblat”.
m. Membaca Bacaan-bacaan Sujud
Seseorang sedang sujud disunnahkan membaca bacaan sujud seperti Subha Rabbiya al-A’la (Mahasuci Tuhanku yang Mahatinggi). Berdasarkan hadits dari ‘Uqbah bin ‘Amir, katanya:
“Ketika turun ayat Sabbihisma Rabbika al-A’la, Nabi SAW. bersbda: Jadikanlah bacaan itu sebagai bacaan sujudmu”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan al-Hakim. Sedangkan sanadnya cukup baik)
Dan riwayat dari Hudzaifah, katanya:
“Bahwasanya Nabi SAW, dalam sujudnya mengucapkan Subhana Rabbiya al-A’la(Mahasuci Tuhanku yang Mahatinggi)”. (HR. Ahmad, Muslim dan pemilik kitab as-Sunan. Menurut at-Turmudzi hadits ini Hasan Sahih)
Sebaiknya bacaan tasbih pada rukuk dan sujud ini tidak kurang dari tiga kali tasbih. At-Turmudzi berkata: “Ini merupakan perbuatan para ulama. Mereka menganggap sunnah hukumnya, pada waktu rukuk dan sujud, membaca tasbih tidak kurang dari tiga kali”. Sementara batas minimal membaca tasbih, menurut jumhur ulama adalah satu kali tasbih.
n. Melakukan Tata Cara Duduk di antara Dua Sujud
Menurut sunnah, duduk di antara du asujud itu disebut duduk iftirasyi. Caranya adalah kaki kiri dilipat dan dikembangkan, lalu duduk di atasnya, sedangkan telapak kaki kanan ditegakkan dan ujung jari-jarinya dihadapkan ke arah kiblat. Berdasarkan hadits dari ‘Aisyah, katanya:
“Bahwasanya Nabi SAW. menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan telapak kanannya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dan hadits dari Ibnu ‘Umar, katanya:
“Di antara sunnah shalat adalah menegakkan telapak kaki kanan dengan menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat, sambil duduk di atas kaki kiri”. (HR. an-Nasa’i)
o. Melaksanakan Duduk Istirahat
Duduk istirahat adalah duduk sebentar yang dilakukan oleh orang yang sedang shalat. Duduk ini dilakukan setelah orang yang shalat itu selesai dari sujud kedua para rekaat pertama menjelang bangkit untuk melakukan rekaat kedua. Juga setelah sujud kedua pada rekaat ketiga menjelang bangkit menuju rekaat keempat.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya duduk istirahat ini, karena keragaman hadits-hadits yang telah diterima. Berikut ini kita kemukakan kesimpulan yang diutarakan oleh Ibnu al-Qayyim, katanya: “Para ahli fikih berbeda pendapat tentang masalah ini, apakah dia termasuk sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan ataukah dia bukan sunnah, sehingga yang mengerjankannya hanyalah orang-orang yang memerlukannya saja”.
p. Menyempurnakan Tata Cara Duduk at-Tasyahhud
Pada waktu duduk at-Tasyahhud, seseorang yang shalat hendaknya menjaga sunnah-sunnahnya. Sunnah-sunnah tersebut adalah:
1). Meletakkan kedua tangan pada tempat yang dibenarkan. Salah
satunya adalah:
“Bahwasannya Nabi SAW., apabila duduk at-Tasyahhud, beliau meletakkan tangan krirnya di atas lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya di atas lututnya yang kanan dan beliau membuat ikatan nomer 53 serta menunjuk dengan jari telunjuknya”. Dan dalam riwayat lain dikatakan: “Dan beliau menggenggam semua jarinya dan menuju dengan anak jari yang ada di samping ibu jari”. (HR. Muslim).
2). Memberi isyarat dengan telunjuk kanan dengan membungkukkannya
sedikit sampai ketika salam
Hadits dari Numeir al-Khuza’i, katanya:
“Saya melihat Rasulullah SAW., ketika sedang duduk dalam shalat, beliau meletakkan lengannya yang kanan di atas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya, dengan membungkukkannya sedikit ketika berdoa”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang cukup baik)
3). Duduk Iftirasy pada at-Tasyahhud Awal dan Duduk Tawarruk pada
at-Tasyahhud Akhir.
Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Humeid, dia menyatakannya ketika menggambarkan cara shalat Rasulullah SAW., katanya:
“Ketika beliau duduk pada rekaat kedua, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Kemudian ketika beliau duduk pada rekaat terakhir, beliau memajukan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya serta duduk di atas lantai”. (HR. al-Bukhari)
q. Melakukan duduk at-Tasyahhud Pertama
Jumhur ulama berpendapat bahwa duduk at-Tasyahhud pertama itu hukumnya sunnah. Ini berdasarkan hadits dari ‘Abdullah bin Buhairah, katanya:
“Bahwasanya Nabi SAW. pernah berdiri pada waktu shalat Dhuhur, padahal seharusnya beliau duduk. Ketika shalat sudah sempurna, sebelum salam, beliau sujud dua kali sambil duduk, dengan membaca takbir tiap kali sujud dan makmum pun ikut sujud bersamanya. Jadi, sujud tersebut merupakan pengganti duduk yang telah terlupakan”. (HR. al-Jama’ah)
Hukum Memendekkan Bacaan at-Tasyahhud Pertama
Hukum memendekkan bacaan at-Tasyahhud pertama adalah sunnah. Hal ini berdasarkan hadits yang diterima dari Ibnu Mas’ud, katanya:
“Apabila Nabi SAW. duduk setelah dua rekaat pertama, maka seolah-olah beliau berada di atas bara api yang panas”. (HR. Ahmad dan Ashabu as-Sunan. Menurut at-Turmudzi hadits ini Hasan, dan ‘Ubaidah tidak pernah mendengar dari bapaknya)
r. Membaca Shalawat Kepada Nabi
Pada waktu duduk at-Tasayahhud akhir, seseorang disunnahkan membaca salah satu bacaan shalawat kepada Nabi SAW. Di antara doa dan bacaan waktu itu sebagai berikut:
“Basyir bin Sa’ad bertanya: Wahai Rasulullah, Allah telah memerintahkan kami agar mengucapkan shalwat kepada anda. Bagaimana caranya kami mengucapkan shalawat itu? Nabi terdiam, lalu bersabda: Ucapkanlah Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad wa ‘Ala Ali Muhammad, Kama Shallaita ‘Ala Ali Ibrahim, wa Barik ‘Ala Muhammad wa ‘Ala Ali Muhammad, Kama Barakta ‘Ala Ali Ibrahim, Fi al-‘Alamina Innaka Hamidun Majidun (Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana telah Engkau berikan shalawat itu kepada keluarga Ibrahim. Dan berikanlah berkah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana telah Engkau berikan berkah itu kepada keluarga Ibrahim. Di seluruh alam, sungguh engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia), kemudian bacalah salam sebagaimana yang kamu ketahui”. (HR. Muslim dan Ahmad).
s. Membaca Doa Setelah Bacaan at-Tasyahhud dan Sebelum Salam
Membaca doa bagi kebaikan dunia dan akhirat yang dilakukan setelah membaca at-Tasyahhud dan sebelum salam hukumnya sunnah. Berdasarkan hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud, katanya:
“Bahwasanya Nabi SAW. mengajar mereka doa at-Tasyahhud, kemudian pada akhir doanya beliau mengatakan: Lalu hendaklah kita memilih macam permohonan yang kita inginkan”. (HR. Muslim)
Pada prinsipnya, membaca doa itu disunnahkan, baik yang memiliki sandaran kepada Nabi SAW. maupun tidak, hanya yang punya dasar tersebut hukumnya lebih utama.
t. Berdoa dan Berdzikir Setelah Salam
Ada beberapa dzikir dan doa sesudah salam yang berasal dari Nabi SAW. yang disunnahkan dibaca oleh orang yang telah selesai dari shalat. Beberapa di antaranya adalah:
“Apabila Rasulullah SAW. selesai shalat, beliau membaca Astaghfirullah tiga kali, lalu membaca: Allahumma Anta as-Salam wa Minka as-Salam, Tabarakta Ya Dza al-Jalali wa al-Ikram (Ya Allah, Engkau lah kedamaian, dan dari-Mu lah segala kedamaian. Maha Besar Engkau wahai Tuhan yang memiliki kebesaran dan kemuliaan)”. (HR. al-Jama’ah kecuali al-Bukhari. Sedangkan dalam riwayat Muslim ada tambahan: Walid berkata bahwa dia bertanya kepada al-Auza’i: Bagaimana caranya istighfar itu? jawabnya: Beliau mengucapkan Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah), dan
“Pada suatu hari, Nabi SAW. memegang tangannya, lalu berkata: Wahai Mu’adz, sungguh saya suka kepadamu. Mu’adz menjawab: Demi ibu-bapakku yang menjadi jaminan anda, saya juga amat mencintaimu. Lalu Nabi bersabda: Wahai Mu’adz, saya amanatkan kepadamu agar setiap selesai shalat tidak ketinggalan membaca Allahumma A’inni ‘Ala Dzikrika wa Syukrika wa Husni ‘Ibadatika (Ya Allah, berilah aku kemampuan untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan selalu menyempurnakan ibadahku kepada-Mu). (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Hibban dan al-Hakim. Dia menyatakan hadits tersebut sah karena berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim).
B. PUASA
- Pengertian Puasa
Puasa berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “menahan diri”. Dalam bahasa Arab disebut “shiyam” atau “shaum” yang berarti “menahan diri dari segala sesuatu”. Menurut istilah syari’at Islam, kata puasa, shiyam atau shaum berarti “menahan diri dari makan, minum, dan melakukan hubungan suami isteri mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam”.
Ada beberapa macam puasa ditinjau dari perpektif hukum Islam, yaitu; puasa wajib, sunnah, makruh dan haram.
- Syarat Puasa
Allah mewajibkan puasa Ramadhan kepada setiap orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Orang yang beragama Islam yang telah mencapai umur baligh dan berakal. Dengan demikian puasa tidak diwajibkan kepada anak-anak dan orang gila.
- Kondisi badan sanggup untuk mengerjakan puasa tersebut.
- Tidak sedang haid atau nifas (bagi wanita).
- Puasa Wajib
Puasa wajib artinya puasa yang harus dilaksanakan oleh seorang Muslim. Apabila dia tidak melaksanakan puasa tersebut, maka dia berdosa, dan akan mendapatkan hukuman dari Allah SWT. Puasa wajib ini antara lain:
- Puasa bulan Ramadhan (QS.al-Baqarah:183)
- Puasa Qada’ (mengganti puasa Ramadhan) (QS.al-Baqarah:184)
- Puasa Nazar (janji untuk puasa) (HR.Abu Dawud dari Aisyah)
- Puasa Kifarat (puasa denda karena suatu pelanggaran) (HR.Jamaah dari Abu Hurairah)
- Puasa Sunnah
Puasa sunnah adalah puasa yang dianjurkan untuk dilaksanakan oleh seorang muslim. Kalau dia tidak melaksanakannya, maka dia tidak berdosa, tetapi kalau dia melakukannya, maka Allah akan memberikan pahala sebagai ganjarannya. Puasa sunnah ini antara lain:
- Puasa setiap hari Senin dan Kamis (HR.Ahmad dari Abu Hurairah)
- Puasa enam hari di bulan syawal (HR.jamaah kecuali Bukhari dan Nasa’i dari Abi Ayyub)
- Puasa tanggal 9 bulan Dzulhijjah (HR.Muslim dari Abu Hurairah)
- Puasa setiap tanggal 13, 14, 15 setiap bulan Qomariyah (HR.Nasa’I dari Abu Zarrim dan lain-lain)
- Puasa tanggal 9 dan 10 bulan Muharram (Tasu’ah dan Asyurra), dan lain-lain
- Puasa Haram
Puasa haram adalah puasa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang Muslim. Apabila dia melakukannya, dia berdosa dan akan mendapat hukuman dari Allah SWT, Puasa haram antara lain:
- Puasa pada hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa, yaitu pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan hari Tasyrik tanggal 11, 12, 13 bulan Dzulhijjah (HR. Ahmad dan Imam empat dari Umar dan Abu Hurairah)
- Puasa terus-menerus (tidak berbuka pada waktu maghrib) seperti bertapa, ngebleng (puasa tujuh hari berturut-turut), mutih (tidak makan garam), patigeni (tidak memakan makanan yang dimasak api), ngalong (hanya makan buah-buahan), ngeplong (puasa tiga hari berturut-turut), dan lain-lain. (HR.Bukhari Muslim)
- Puasa wanita yang sedang haid dan nifas (HR.Jamaah dari Muaz)
- Puasa yang dipastikan dapat mengakibatkan bahaya bagi yang melaksanakannya (QS.al-Baqarah:195)
- Puasa Sunnah yang dilakukan istri atau suami tanpa izin pasangannya padahal mereka ada di rumah (HR.Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
- Puasa Makruh
Puasa makruh adalah puasa yang lebih baik tidak dilakukan oleh seorang muslim. Puasa makruh ini antara lain:
- Puasa hanya pada hari jum’at saja atau sabtu saja (HR.Ahmad dan Nasa’i dari Abdullah)
- Puasa orang yang sedang dalam perjalanan atau sakit dengan susah payah (istihsan).
- Hikmah Puasa
Menurut penelitian para ulama, ibadah puasa mengandung berbagai macam hikmah antara lain sebagai berikut:
- Melatih jiwa dan memelihara watak amanah. Sebab, puasa merupakan amanah Tuhan yang harus dipelihara dan dijaga. Dengan demikian, jiwa akan terlatih untuk memelihara amanah-amanah yang lain;
- Menempa jiwa supaya memiliki kekuatan dan daya tahan. Tahan menanggung penderitaan, memperkuat kemauan, meneguhkan pendirian dan cita-cita.
- Menghilangkan dan mengendalikan sifat rakus dan tamak kepada makan dan minum. Sifat tersebut termasuk dalam sifat kehewanan (bathiniyyah). Sehingga akan sifat keutamaan dan kemanusiaan.
- Mengurangi hawa nafsu keduniaan dan kemewahan hidup, berganti dengan mendekatkan diri (taqorrub) kepada Tuhan dan akhirnya meningkat menjadi orang yang muqorrobin.
- Membiasakan diri bersikap sabar dalam mengendalikan hawa nafsu makan, minum, bersetubuh, menahan amarah dan lain-lain.
- Meningkatkan perasaan untuk menyadari dan mengenal diri sendiri (instrospeksi) bahwa manusia itu adalah makhluk yang lemah, dan berkehendak kepada bermacam-macam kepentingan (hajat).
- Membentengi diri manusia untuk tidak melakukan kejahatan dan kemaksiatan.
- Menggerakkan hati orang-orang kaya supaya menyantuni orang-orang miskin, dan menanamkan benih welas asih dan kasih sayang terhadap fakir miskin dan anak-anak yatim dan orang-orang melarat dan sengsara pada umumnya.
- Menghidupkan kekuatan pikiran dan kekuatan lainnya yang hanya dapat dicapai dengan mata hati.
- Meningkatkan kesehatan dan kebugaran tubuh.
8. Hal-hal yang membatalkan puasa:
Ada beberapa hal yang dapat membatalkan puasa, antara lain sebagai berikut:
- Makan dan minum dengan sengaja sejak terbitnya fajar hingga matahari terbenam.
- Muntah dengan sengaja.
- Mencampuri isteri di siang hari di bulan Ramadhan.
9. Qada` Puasa
Qada` artinya menunaikan kewajiban sesudah lewat waktunya. Yang dimaksud adalah orang-orang yang tidak dapat melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dikarenakan sakit, haid, nifas, dan sebagainya. Dia diharuskan mengganti puasa yang ditinggalkannya tersebut pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan. Puasa dapat dilakukan berturut-turut maupun terpisah-pisah, meskipun dengan mengakhirkan qada’ sampai dengan Ramadhan berikutnya.
10. Fidyah
Fidyah artinya “penebus kesalahan”. Yaitu suatu kewajiban memberi makan orang miskin bagi orang-orang yang tidak dapat menjalankan ibadah puasa bulan Ramadhan. Firman Allah: ”Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar (yaitu) memberi makan seorang miskin”. (QS. Al-Baqarah:184).
Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Tirmidzi, orang-orang yang tidak wajib puasa itu adalah orang tua yang tidak kuat berpuasa, wanita yang sedang mengandung, atau sedang menyusui anaknya. Juga termasuk dalam kelompok ini, orang bekerja keras untuk penghidupannya (misalnya penarik becak) orang yang jika berpuasa akan sakit dan orang yang tidak ada harapan untuk sembuh. Oleh karena itu keluarganya wajib membayar fidyah tiap hari sebanyak hari-hari puasa Ramadhan yang mereka tinggalkan.
11. Kifarah Puasa
Kifarat berasal dari kata kaffarah, artinya “penutup satu kesalahan atau dosa”. Adapun yang dimaksud dengan “kifarah puasa” ialah “suatu denda yang dikenakan kepada suami isteri yang telah membatalkan puasanya dengan bercampur di siang hari pada bulan Ramadhan”. Jika suami isteri itu melakukan pelanggaran sebanyak satu kali, maka kifaratnya memilih alternatif sebagai berikut:
- Memerdekakan seorang hamba sahaya (budak). Jika mereka tidak mampu memerdekakan budak, mereka boleh memilih,
- Melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut (harinya tidak terpisah-pisah). Kalau mereka tidak kuat melaksanakannya, boleh memilih,
- Bersedekah dengan makanan yang mengenyangi enam puluh fakir miskin, tiap orang ¾ liter (HR.Bukhari dan Muslim).
12. Malam Lailatul Qadar
Satu hari dari sejumlah hari terakhir bulan Ramadhan disebut malam Lailatul Qadar, yaitu malam kemuliaan atau malam penuh berkah yang terjadi pada bulan Ramadhan dan mempunyai keistimewaan sebagai berikut:
- Malam diturunkannya al-Qur’an (pada zaman nabi);
- Nilai malam itu lebih tinggi dari seribu malam;
- Atas izin Allah, pada malam itu malaikat bertebaran di pelosok bumi;
- Malam itu penuh dengan keselamatan dan kesejahteraan.
C. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
Para ulama menyatakan bahwa yang termasuk ibadah mahdlah adalah shalat puasa dan haji. Sementara zakat, mereka sebut sebagai ibadah maliyah ijtima’iyah (ibadah yang berkaitan dengan harta dan sosial masyarakat). Disebut ibadah mahdlah berarti di dalamnya lebih banyak hal-hal yang bersifat ta’abbudi (meta rasional) daripadata’aqquli (rasional), Karena sifat ibadah mahdlah yang meta rasional itulah, maka praktik pelaksanaannya seratus persen mengikuti petunjuk Rasul. Umat Islam tidak memiliki pilihan kecuali mengikuti garis yang telah dibuat oleh Allah dan Rasul-Nya.
Perbedaan-perbedaan umat dalam melaksanakan ibadah mahdlah, khususnya shalat, bukanlah perbedaan yang disebabkan oleh perubahan muslim dalam merasionalisasikan bentuk ibadah, namun hanyalah perbedaan “alternatif” dan “interpretatif”. Perbedaan alternatif ini berarti bahwa umat Islam boleh memilih salah satu di antara bacaan-bacaan shalat yang telah diajarkan Rasul. Sedangkan perbedaan interpretatif lebih merujuk kepada perbedaan mereka dalam memahami teks-teks hadits yang sampai kepada mereka. Secara garis besar, sebenarnya mereka semua memiliki dasar dan argumentasi dalam melakukan ibadah.
Meskipun demikian, tetap sangat menarik membahas perbedaan yang terjadi di antara mereka, minimal untuk mengetahui argumentasi yang mereka ajukan. Di antara perbedaan umat dalam beribadah yang bisa didiskusikan adalah:
- Tata cara berwudlu
Persoalan ini penting dibahas, bukan untuk mengklaim kebenaran di satu pihak dan menyalahkan pihak lain, namun dibahas untuk mengetahui alasan masing-masing argumentasi ulama terhadap tata cara wudlu. Selanjutnya mahasiswa mengetahui dengan pasti pendapat yang sesuai dan benar menurut perspektif mereka.
- Melafadzkan Niat dalam Ibadah, Khususnya Shalat
Jumhur ulama sepakat bahwa setiap bentuk ibadah, terutama shalat, harus dimulai dengan niat ikhlas karena Allah semata. Namun mereka berbeda mengenai kebolehan melafadzkan niat di awal shalat. Hal itu karena Nabi dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya, Persoalannya adalah dari mana sebenarnya lafadz niat itu? Dan sekuat apakah argumentasi kebolehan lafadz niat shalat itu dibaca?
- Membaca Basmalah secara Sirri (tidak terdengar) dalam Shalat
Basmalah wajib dibaca ketika mau membaca al-Fatihah, itulah kesepakatan ulama. Namun mereka berbeda pendapat mengenai cara membacanya; ada ulama yang lebih suka membaca secara sirri (tidak terdengar) dan ada ulama yang suka sebaliknya. Bagaimanakah persoalan yang sebenarnya? Yang sering dilakukan Nabi itu cara pertama, kedua ataukan kedua-duanya?
- Membaca al-Fatihah bagi Makmum
Al-Fatihah wajib dibaca oleh orang yang sedang shalat, baik sendiri maupun berjamaah. Namun ketika berjamaah di mana imam membaca surat secara keras (pada shalat maghrib, isya’, subuh dan shalat jum’ah), apakah al-Fatihah cukup dibaca imam, ataukah makmum tetap wajib membacanya? Kalau tetap membacanya, kapan waktunya? Kalau makmum tidak membacanya, apakah shalatnya sudah syah?
- Sedekap ketika Berdiri I’tidal
- Alternatif Bacaan-bacaan Shalat
- Qunut Subuh
- Dzikir Bersama Setelah Shalat
- Jumlah Rekaat Shalat Tarawih
- Puasa Bagi Orang Yang Mengandung, Melahirkan dan Menyusui
- Puasa Bagi Pekerja Berat
- Perpanjangan Waktu Haji sebagai Alternatif Kekurangan Tempat
- Dan lain-lain
Backlink here.. Description: FIQIH IBADAH Rating: 4.5 Reviewer: seputarwisata.com - ItemReviewed: FIQIH IBADAH
Shares News
-
05.39
Tags:
materi kuliah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Share your views...
0 Respones to "FIQIH IBADAH"
Posting Komentar